|
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Ahmadnajip
Saya Mahasiswa di bandung
Tanggal: 16/07/2003
Judul Artikel: Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan
Topik: Pendidikan Dunia Ketiga
Pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak
berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang
dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis
sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai
dunianya sendiri . Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam
menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari
yang selama ini melembaga dalam duni pendidikan kita. Salah satu metode
pendidikan yang dinilai tepat dijalankan di dunia ketiga adalah konsep
pendidikan Paulo Freire yang menganggap bahwa pendidikan merupakan
proses pembebasan .
Mengapa Paulo Freire
Paulo Freire dilahirkan 1921 di Recife, salah satu daerah paling miskin
dan terbelakang di timur laut Brazil lewat karya pendidikannya dapat
kita sebut sebagai bahwa pikirannya mewakili jawaban dari sebuah pikiran
kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan
luar biasa kaum tertindas di sekitarnya . Kondisi ketertindasannya di
Recife tersebut cukup menggambarkan pola keumuman praktek pendidikan di
dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Disanalah tumbuhnya kebudayaan
bisu dikalangan orang-orang yang tertindas. Lebih jauh Paulo Freire
mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan
guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid
lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh
gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan
menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung". Secara
lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang
disebutnya model pendidikan "gaya bank" tersebut.
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan
jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan
bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis.
Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar
pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran
(konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan
yang ekslusif.
Pendidikan Kita Anti Realitas
Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat
fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas
masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas.
Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan
dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak
digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses
pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita
cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama
diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama
kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan
agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk
memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang
lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan
beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan
membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling
menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya,
pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik
yang tak habis-habisnya.
Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada
dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan
untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih
mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial
kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk
sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika
Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa
perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip
toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan
membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan
program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih
berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan
ilmu.
Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas
kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh
keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang
mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal
secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai
"korban penindasan". Proses penindasan yang sudah mewabah dalam
berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan
metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan,
intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada
kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek
yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak
lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan
keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang
tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas
membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.
Metode Dialog : Hadap Masalah
Karena penyebab tidak berhasilnya pendidikan kita sebagai akibat dari
penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses
penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidak berumber pada satu realitas
masyarakat, maka kini tiba saatnya kita untuk merefleksikannya. Mau
tidak mau, pendidikan kini harus berangkat dari proses dialogis antar
sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah dari pemikiran
kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang menuntut
pemikiran kritis dan melahirkan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak akan
mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek pendidikan
anti realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada
proses hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau
politik harus beranjak dari kekinian, eksistensial, dan konkrit yang
mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkan akan
merangsang kesadaran rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas
kehidupan. Hal
ini sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis.
Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, agar manusia merasa sebagai
tuan bagi pemikirannya sendiri.
Secara umum praktek pendidikan sebagai mana yang lazim disebut sebagai
metode-nilai pedagogis dapat kita rangkum dalam dua kata tadi, dialog
dan hadap masalah. Entahpun pengembangan lainnya tentu saja dapat kita
lakukan seiring kondisi yang bersangkutan.
Pendidikan Indonesia Masa Depan
Ketika memimpikan tentang pendidikan masa depan kita tidak dapat
melepaskan sejarah masa lalu dan realitas yang melingkupi sekarang.
Sejarah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pendidikan. Hal ini
berarti, perkembangan pendidikan merupakan fungsi perkembangan sejarah
masyarakat. Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa keengganan kita
belajar dari sejarah telah mengakibatkan kita menuai kegagalan sebagai
bangsa disaat ini.
Beberapa penyebab diantaranya telah kita simak pada bagian terdahulu.
Maka, pendidikan untuk masa depan haruslah mengindikasikan agar dunia
pendidikan kita dibebaskan dari suasana bisnis, agen perpanjangan
kapitalisme gaya baru : kapitalisme pendidikan. Kurikulum pendidikan
juga sudah saatnya berangkat dari sebuah realitas masyarakat, penataan
kembali pendidikan agama, penanaman demokrasi dan menumbuhkan pemikiran
kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan hanya kognitif semata, maka
tinjauan apektif harus pula dijadikan bahan acuan dalam menjalankan
proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk keterampilan
sosial (sosial skills) dan keterampilan hidup (life skills).
Potret pendidikan kita dimasa depan adalah tergantung dari sekarang.
Rancangan Undang Undang Sitem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang
sampai saat ini tetap menjadi polemik, mudah-mudahan dapat menjawab
permasalahan pendidikan kita. Semoga, tidak ada lagi pertanyaan yang
menggugat eksistensi lembaga pendidikan seperti yang ungkapkan Roem
Topatimasang, "Jika sekarang banyak orang berwatak dan bersikap
'setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat lagi setan',
merupakan hasil bentukan sekolah (baca : pendidikan, penulis) ? "
|
Komentar
Posting Komentar